Jagoan Jakarta Tempo Doeloe: Antara Kriminalitas dan Perjuangan Kemerdekaan

Sejak masa kolonial Belanda hingga Indonesia merdeka, tindak kriminal yang muncul di Jakarta sering melibatkan para jagoan. Ketika terjadi penculikan, penggarongan, penggedoran, pembakaran, dan pembunuhan, di situ ada jagoan yang ikut turun tangan. Sebab, para jagoan kadang dilegalkan untuk menangani tindakan kriminal. Yang menarik, para jagoan Jakarta tempo doeloe konon juga terlibat dalam perjuangan Indonesia. Mau tahu lebih lanjut soal para jagoan Jakarta di masa lalu? Berikut beberapa nulikan hasil hasil studi yang dirangkum oleh Sutrisno Budiharto:


Karakter Jagoan Jakarta Tempo Doeloe 
Karakter para jagoan di Jakarta tempo doleloe pada dasarnya masih dipengaruhi oleh ajaran agamanya. Mereka tidak bersifat agresif,  namun cenderung berkaraktaer bertahan. Hal itu dapat dilihat adanya istilah “ lu jual gua beli[1]. Dalam dunia persilatan seorang jago Jakarta tidak akan menjual (memulai suatu perkara). Namun kalau ada yang menjual (menantang), seorang jago siap untuk membelinya. Jago Jakarta sekalipun tidak pernah menjual, atau menantang-nantang karena sifat tawadhunya terhadap agama, tetapi ia bersedia untuk “membeli” bila ada yang “menjual”. Tradisi ini, menurut Irwan, bertahan hingga abad ke-20. 

Irwan Syafi’ie adalah mantan jagoan Jakarta tempo doeloe. Pria kelahiran Jakarta 22 September 1930 tersebut mengaku pernah menjadi jagoan yang menguasai daerah Gambir, Pasar Rumput, hingga Cikini dan Kampung Dukuh (sekarang daerah Setia Budi). Bahkan tanpa malu-malu ia menyebut dirinya sebagai mantan jagoan atau “preman” (sebutan jagoan masa kini). Setelah insyaf dan berhenti menjadi jagoan, pada tahun 1974 dan tahun 2004 lalu Syafi’ie menjalankan ibadah Haji. Ketika ditemui Amurwani Dwi Lestariningsihuntuk wawancara pada  25 November 2005, Syafie’ie masih tampak gagah, masih dapat membaca tanpa harus menggunakan kaca mata. Badannya tegap dan jalannya masih cukup gesit. Meski mengaku sebagai jagoan, Syafi’ie juga terlibat mendirikan Lembaga Kesenian Betawi (LKB) yang bertujuan untuk melestarikan budaya Betawi [2].

Menurut Irwan Syafi’i dan Ali Sabeni dalam masyarakat Jakarta terminologi jago dapat dilihat dari dua konsep yang berbeda, ada jagoan yang berkonotasi positif dan ada jagoan berkonotasi negatif. Dengan kata lain, ada jagoan alim (baik budi) dan jagoan jahat. Namun secara umum, jagoan biasanya diartikan sebagai seorang yang memiliki kekuatan fisik, keberanian, kekebalan tubuh, dan ilmu mistik yang berhubungan dengan ilmu silat.
  • Jagoan alim adalah seorang jago mempunyai konotasi baik bagi warga Jakarta. Mereka biasanya bertindak atas dasar pertimbangan baik dan buruk menurut ajaran agama. Para jago juga dikenal sebagai seorang pejuang yang membela kepentingan rakyat. 
  • Jagoan jahat, adalah seorang jago dipandang sebagai jagoan yang oleh masyarakat Jakarta lebih dikonotasikan pada suatu perbuatan yang tidak baik. Sebutan yang digunakan bagi anggota masyarakat yang melakukan tindakan kriminal, kejahatan dan terkadang disebut sebagai pengecut.

Tidak aneh, jika situasi ketertiban dan keamanan di Jakarta tempo doeloe juga tak lepas dari peran para jagoan Jakarta sendiri. Soemarsaid Moertono berpendapat bahwa maling harus ditangkap dengan maling.
Dalam sistem ketataprajaan Kerajaan Mataram misalnya, bekas penyamun seringkali dipakai untuk kedudukan bupati atau penarik pajak. Kalau misalnya di suatu daerah ada seorang perampok terkenal, ia akan diangkat menjadi bupati untuk menjaga keamanan wilayahnya. Dengan kata lain, penggunaan kekerasan yang legal dan yang illegal untuk menjaga keamanan suatu wilayah adalah dua hal yang batasannya sangat samar dalam masyarakat [3].

Mengenai kekuatan fisik para jagoan sangat terkai dengan penguasaan ilmu silat. Sedang penguasaan ilmu kebal adalah hal yang biasa dimiliki dalam dunia jagoan. Hobsbawm mengungkapkan sebagai berikut:
“Di dalam beberapa masyarakat dengan perampokan yang terlembaga secara kuat seperti di Asia selatan dan tenggara, elemen sihir malah dikembangkan secara lebih tinggi dan signifikansinya mungkin terlihat lebih jelas. Dengan demikian, gerombolan ‘rampok’ yang tradisional dari Jawa secara esensial adalah sebuah ‘formasi kelompok yang memiliki sifat dasar misktik sihir dan para anggotanya bersatu, dengan suatu ikatan tambahan, yaitu ilmu (elmu), sebuah guna-guna sihir yang bisa terdiri dari sebuah kata, sebuah jimat, sebuah pepatah, tetapi kadang-kadang hanya berupa keyakinan pribadi dan yang pada gilirannya didapat melalui latihan sepritual, meditasi dan yang semacamnya, melalui hadiah ayau pembelian, atau yang dipunyai sejak lahir yang memperlihatkan pekerjaannya"[4]


Peran  Jagoan Jakarta dalam Perjuangan Indonesia
Keterlibatan para jagoan dalam perjuangan Bangsa Indonesia dapat dilihat dalam desertasi Robert Cribb. Menurutnya, dalam akar revolusi sosial Indonesia terdapat keterkaitan dengan para laskar yang berasal dari dunia hitam (bandit) [5]. Dalam perjuangan kemerdekaan di Indonrsia, pada awalnya banyak kekuatan-kekuatan sosial masyarakat yang terdiri dari para preman, bandit dan penjahat kriminal kemudian bertemu dengan kepentingan para pejuang kemerdekaan dalam ikut serta melakukan upaya revolusi sosial [6].
Sedang peran positif jagoan Jakarta dalam perjuangan Indonesia dapat dilihat dalam buku "Riwayat Haji Darip" (Pemda DKI Jakarta, 1984). Ketika Jepang mengalami kekalahan dalam Perang Dunia II (setelah Hirosima dan Nagasaki dibom atom Amerika Serikat), pemuda-pemuda Jakarta mendesak Soekarno agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam suasana seperti itu, Haji Darip seorang jago dari Klender bergabung dalam organisasi pertahanan laskar rakyat: Barisan Rakyat (BARA). Meskipun organisasi itu bersifat kemiliteran akan tetapi mereka tidak mengenal hirarkhi kepangkatan. Sebagai ketua BARA untuk daerah Klender ditunjuk Haji Darip. Mereka didik secara militer mencontoh teknik kemiliteran yang diselenggarakan di Bidar Cina pada masa Jepang. 

Kelompok BARA itu kemudian merekrut anggotanya dari beberapa kelompok masyarakat. Untuk anggota BARA yang militan, mereka mengambil para pemuda dari kampungkampung sekitar Klender dan para gelandangan. Untuk pasukan yang tangguh anggota kelompok itu merekrut para narapidana Cipinang yang telah dikuasai oleh Haji Darip. Untuk pasukan berani mati pimpinan BARA mengambil anggotanya dari narapidana yang dihukum karena membunuh. Mereka dibebaskan dan dijadikan pasukan organik (pasukan liar atau pasukan berani mati). Sebagai pimpinan pasukan berani mati ditunjuk Panji seorang bekas kepala penodong dan jagoan anak muda. Mereka ditugasi untuk mengawasi situasi dan kegiatan musuh di dalam kota dan melaporkan setiap kejadian kepada pimpinan BARA di Klender. Para penghuni tahanan segan dan menaruh hormat terhadap H. Darip karena ilmu silat dan ilmu kebal uang dimilikinya 

Pada saat itu sebagai seragam kelompok BARA di Klender memakai pakaian hitam yang diperoleh dari penjara Cipinang. Pakaian itu sebenarnya dibuat oleh Jepang untuk seragam tentara PETA. Sebagian pakaian seragam kelompok itu diperoleh dari bantuan masyarakat yang bersimpatik para gerakan kelompok Darip. Untuk keperluan logistik didapat dari bantuan rakyat serta jatah dari perwakilan-perwakilan pemerintah RI. Seragam pasukan berani mati yang ditugaskan untuk mata-mata ke kantong-kontong NICA melakuan penyamaran dengan memakai seragam NICA. Mereka juga ditugaskan untuk membunuh NICA dan merampok Cina-Cina kaya untuk menyuplai senjata dan persedian logistik bagi keperluan BARA[7]

Pertempuran juga terjadi antara pasukan Belanda dengan penduduk daerah Tanah Abang dan Jati Petamburan di Kampung Karet dekat kuburan. Belanda hendak mencoba menduduki kantor cabang polisi dengan maksud memutuskan hubungan dengan daerah-daerah lain. Pada tanggal 20 November 1945, berkobar kembali pertempuran di daerah Jati Petamburan, Karet dan Jati Baru. Pada waktu itu kira-kira pukul 04.30 pagi, tentara Belanda mengadakan pemeriksaan dan pengeledahan terhadap setiap penduduk yang lewat Jembatan Tinggi. Pada waktu mereka menggeledah, para pemuda pejuang tidak melakukan perlawanan. Setelah agak jauh dari tempat tersebut mereka melemparkan granat dan tembakan dari arah Jembatan Tinggi, sehingga suasana menjadi rusuh.[8]

Dalam melakukan perlawanan seorang jago bernama Misnan dari Kampung Bali berhasil melakukan penyamaran sebagai tukang cuci mobil di markas Sekutu “Royal Air Forces” (RAF) yang bertempat di rumah bekas tuan tanah di daerah Tanah Abang Bukit. Sebagai orang yang mendapat kepercayaan dari serdadu Belanda, Misnan berhasil mencuri dokumen nama orang-orang yang akan ditangkap dan beberapa pucuk senjata dengan mudah. Segera ia menghubungi orang-orang yang tertera namanya di dalam dokumen untuk segera menyelamatkan diri. Berkat usahanya itu orang-orang yang telah terdaftar dalam dokumen Belanda berhasil diselamatkan. Setelah peristiwa itu penjagaan markas Sekutu semakin diperketat. Dalam melakukan perlawanan menghadapi Sekutu, Misnan dan kelompoknya bekerjasama dengan pasukan sekutu India Muslim yang telah memihak para pemuda Republik. Mereka kemudian melakukan penyerangan ke markas Belanda yang berada di Jalan Taman Kebon Siri dan berhasil merampas empat pucuk senjata LE dan 20 buah granat tangan. Setelah peristiwa itu, Misnan kemudian melarikan diri ke daerah Cikampek karena jiwa terancam. Ia kemudian bergabung dengan pasukan Tentara Keamanan Rakyat.[9]

Di daerah Petamburan, pal Merah dan Slipi, keamanan wilayah dipegang oleh Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin oleh Bapak Muntaco dan Achmad Dera. Markas mereka terletak di jalan Jati Petamburan no 4. Di gedung ini sering diadakan pertemuan para tokoh pejuang dan rapat rahasia untuk mengatur siasat dalam menghadapi Belanda. Di gedung itu pula diadakan Pengadilan Tinggi Barisan Keamanan Rakyat, tempat tentara Belanda yang ditangkap dihukum mati dan dikubur di halaman gedung tersebut [10].

-------------------------------------------------
[1] Yahya A.Saputra dan H. Irwan Syafi’ie, "Beksi Maen Pukulan Khas Betawi", Jakarta : Gunung Jati, 2002, hal 9.
[2] Hasil wawancara Amurwani Dwi Lestariningsih dengan H. Irwan Syafi’ie, tanggal 25 November 2005.
[3] Onghokham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang, Jakarta : Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT), 2003, hal 180.
[4] Eric J. Hobsbawn, Bandit Sosial, Jakarta : Teplok Press, 2000 
[5] Robert Cribb, Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945 - 1949, Penerbit Masup Jakarta, 2010.
[6]  Tri Guntur Narwaya, MSi; "Milisi Sipil (Lasykar), Negara dan Dinamika Kekuasaan" dalam Seminar “Eksistensi Milisi dan Memudarnya Tanggung Jawab Aktor Keamanan Negara” - Yogyakarta, 3 – 4 September 2013.
[7] Amurwani Dwi Lestariningsih; "Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950"; disampaikan dalam Konfrensi Nasional Sejarah di Jakarta tanggal 14-16 November 2006 [Pemda DKI, Riwayat Haji Darip; Jakarta, 1984].  
[8] Amurwani Dwi Lestariningsih; "Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950"; disampaikan dalam Konfrensi Nasional Sejarah di Jakarta tanggal 14-16 November 2006
[9] Amurwani Dwi Lestariningsih; "Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950"; disampaikan dalam Konfrensi Nasional Sejarah di Jakarta tanggal 14-16 November 2006
[10] Amurwani Dwi Lestariningsih; "Studi Kriminalitas di Jakarta 1945-1950"; disampaikan dalam Konfrensi Nasional Sejarah di Jakarta tanggal 14-16 November 2006